PERTANIAN - Bayangkan suatu masa ketika Indonesia kembali dikenal dunia bukan sebagai negara pengimpor beras, tapi sebagai lumbung pangan yang berdiri tegak, mengisi perut-perut di seluruh dunia. Suatu mimpi, yang mungkin terdengar seperti dongeng, tapi sebenarnya lebih realistis daripada yang kita kira. Saat kita sibuk berinovasi dan mengejar industri teknologi, ada satu hal yang kita abaikan—kekayaan tanah air kita yang subur, yang siap menghasilkan lebih dari sekadar kopi untuk pasar internasional.
Masyarakat modern cenderung melihat pertanian sebagai sesuatu yang kuno, seolah-olah bercocok tanam hanya cocok untuk generasi nenek moyang. Padahal, justru di sinilah potensi besar Indonesia tersembunyi. Tanah kita, yang pernah melahirkan berbagai varietas padi unggul dan hasil perkebunan melimpah, kini sebagian besar ditinggalkan atau bahkan dijadikan beton dan gedung-gedung. Pertanyaannya adalah, mau sampai kapan kita terus menyia-nyiakan kekayaan ini?
Baca juga:
Petani dan Penyuluh Sambut Baik Program KUR
|
Jika kita berani melangkah mundur untuk kembali bertani, dampaknya mungkin akan lebih besar dari sekadar memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Kita berbicara tentang ketahanan pangan, yang artinya kita memiliki kendali penuh atas bahan pangan kita sendiri—tidak lagi tergantung pada impor yang bisa saja tersendat karena konflik internasional, perubahan iklim, atau krisis ekonomi. Indonesia memiliki peluang untuk tidak hanya mandiri secara pangan, tetapi juga menjadi pemasok utama bagi negara-negara lain yang terancam kelaparan.
Lebih dari sekadar ketahanan pangan, kembali bertani juga berarti menghidupkan kembali ekonomi desa, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi arus urbanisasi yang hanya memperparah masalah perkotaan. Anak-anak muda yang kini terjebak dalam gaya hidup kota, mungkin bisa kembali ke desa dengan kebanggaan, sebagai petani modern yang mampu menguasai teknologi pertanian terkini.
Revolusi digital bisa kita padukan dengan revolusi pertanian, menciptakan model pertanian pintar yang produktif dan ramah lingkungan. Bukan tidak mungkin, suatu hari nanti kita akan melihat sawah-sawah di pedalaman Sumatera, Jawa, dan Sulawesi yang dikelola oleh drone dan algoritma cerdas, mengubah wajah pertanian menjadi sesuatu yang berkelas dan berteknologi tinggi.
Mengapa harus kembali bertani? Karena ini adalah cara paling sederhana dan efektif untuk menciptakan kedaulatan. Selama pangan ada di tangan kita, kita tidak perlu takut menghadapi perubahan dunia. Sembari negara-negara lain berjuang mencari sumber pangan yang stabil di tengah krisis iklim, Indonesia bisa tampil sebagai solusi, sebagai negara yang tidak hanya memenuhi kebutuhan warganya tetapi juga turut berkontribusi pada stabilitas pangan dunia.
Namun, ini semua hanya bisa terjadi jika kita mau mengubah cara pandang. Jika bertani kita anggap sebagai “jalan mundur, ” maka selama itu pula kita hanya akan mengejar ketergantungan pada industri lain. Mari jadikan ini sebagai langkah revolusioner, untuk kembali ke tanah, kembali bertani, dan merebut kembali identitas Indonesia sebagai lumbung pangan dunia.
Jakarta, 05 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi