POLITIK - Dalam sistem demokrasi, partai politik seharusnya menjadi wadah bagi berbagai gagasan dan kepentingan masyarakat yang beragam. Namun, dalam praktiknya, muncul fenomena yang disebut sebagai partai perorangan atau partai keluarga, yakni partai politik yang dikuasai oleh satu individu atau satu keluarga secara turun-temurun. Fenomena ini sering kali menimbulkan pertanyaan: apakah ini masih mencerminkan demokrasi, atau justru bentuk lain dari politik dinasti?
Ciri-Ciri Partai Perorangan atau Partai Keluarga
1. Ketua Umum yang Tidak Pernah Diganti
Salah satu ciri utama partai jenis ini adalah kepemimpinan yang tidak berganti selama bertahun-tahun, bahkan dekade. Ketua umum yang sama tetap berkuasa tanpa adanya mekanisme regenerasi kepemimpinan yang terbuka dan kompetitif. Struktur partai biasanya dirancang agar hanya satu individu atau kelompok tertentu yang dapat memegang kendali.
2. Keluarga sebagai Pengurus Partai
Dalam banyak kasus, posisi strategis dalam partai dipegang oleh anggota keluarga ketua umum. Misalnya, saudara kandung, anak, atau pasangan ketua umum sering kali menduduki jabatan penting seperti sekretaris jenderal, bendahara, atau ketua dewan penasihat.
3. Suksesi Kepemimpinan Bersifat Keluarga
Jika ketua umum tidak lagi menjabat, posisinya sering kali diteruskan kepada anggota keluarga, seperti anak atau saudara kandungnya. Pola ini mirip dengan sistem monarki, di mana kepemimpinan diwariskan bukan melalui mekanisme demokratis, melainkan karena faktor garis keturunan.
4. Minimnya Demokrasi Internal
Partai semacam ini biasanya tidak memiliki mekanisme demokratis yang sehat dalam pemilihan kepemimpinan. Pemilihan ketua umum lebih bersifat simbolis karena hasilnya sudah ditentukan sejak awal. Struktur partai tidak memberi ruang bagi kader lain untuk naik ke tampuk kepemimpinan.
Dampak Partai Perorangan atau Partai Keluarga
1. Menjaga Stabilitas, tetapi Membatasi Regenerasi
Salah satu argumen pendukung partai semacam ini adalah stabilitas yang lebih terjaga. Dengan kepemimpinan yang tetap berada dalam satu tangan, kebijakan partai cenderung lebih konsisten. Namun, di sisi lain, hal ini juga menghambat regenerasi politik dan menutup peluang bagi kader muda yang ingin berkontribusi.
Baca juga:
Tony Rosyid: Berebut Warga NU
|
2. Kecenderungan Menuju Politik Dinasti
Ketika satu keluarga mendominasi partai, ada kecenderungan mereka juga ingin mempertahankan kekuasaan di pemerintahan. Ini dapat memicu praktik politik dinasti di mana jabatan publik dipegang oleh orang-orang dari keluarga yang sama, bukan berdasarkan kompetensi, tetapi karena koneksi keluarga.
3. Potensi Korupsi dan Nepotisme
Sistem kepemimpinan tertutup seperti ini rentan terhadap korupsi dan nepotisme. Jabatan-jabatan strategis dalam partai dan pemerintahan bisa diberikan kepada anggota keluarga atau orang dekat tanpa melalui proses seleksi yang transparan.
Baca juga:
Tony Rosyid: Pemilu Ditunda? No Way!
|
4. Menurunkan Kualitas Demokrasi
Salah satu prinsip demokrasi adalah adanya persaingan sehat dalam politik, termasuk dalam kepemimpinan partai. Jika partai dikelola seperti milik pribadi atau keluarga, maka demokrasi internal dalam partai akan melemah. Ini juga dapat berdampak lebih luas pada sistem politik nasional jika partai tersebut memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan.
Contoh Kasus di Berbagai Negara
Fenomena partai keluarga tidak hanya terjadi di satu negara, tetapi juga ditemukan di berbagai belahan dunia. Di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, banyak partai politik yang dikendalikan oleh keluarga tertentu selama beberapa generasi.
Filipina: Keluarga Marcos dan keluarga Aquino pernah mendominasi politik nasional.
India: Partai Kongres India sering dikaitkan dengan dinasti politik Nehru-Gandhi.
Indonesia: Sejumlah partai politik juga mengalami kecenderungan kepemimpinan yang diwariskan dalam satu keluarga.
Kesimpulan
Partai perorangan atau partai keluarga merupakan fenomena yang menimbulkan dilema dalam demokrasi. Di satu sisi, stabilitas kepemimpinan bisa menjadi nilai positif. Namun, di sisi lain, model kepemimpinan seperti ini membatasi regenerasi politik, meningkatkan risiko nepotisme, dan melemahkan demokrasi internal.
Jika dibiarkan tanpa mekanisme demokratis yang sehat, partai semacam ini bisa berubah menjadi alat politik dinasti yang hanya menguntungkan segelintir orang. Oleh karena itu, diperlukan reformasi dalam sistem partai politik untuk memastikan bahwa kepemimpinan partai bersifat lebih terbuka, transparan, dan kompetitif, sehingga demokrasi tetap terjaga dan tidak berubah menjadi oligarki politik.
Jakarta, 16 Februari 2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi