PENDIDIKAN-Di kalangan mahasiswa kampus negeri, ada satu “dongeng modern” yang sering berulang, tentang para dosen yang tak kunjung hadir di ruang kuliah, tak ada kabar saat mahasiswa butuh bimbingan, bahkan terkadang membuat mahasiswa bertanya-tanya, “Apa beliau memang masih dosen di sini?” Dongeng ini, sayangnya, bukan kisah fiksi, justru inilah realita yang mulai mengikis kualitas pendidikan tinggi negeri di Indonesia.
Bukan rahasia lagi bahwa sebagian dosen negeri yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) memiliki “dua kaki”—satu di ruang kelas, dan satu lagi di luar kampus. Bukannya mengabdikan diri penuh sebagai pendidik, mereka sibuk mengisi jam kerja dengan berbagai proyek profesional di luar kampus. Ironisnya, waktu yang semestinya dihabiskan bersama mahasiswa, mereka gunakan untuk membangun karier pribadi. Akibatnya? Tentu saja, mahasiswa dirugikan. Mereka kehilangan waktu belajar yang berharga, terbatasnya bimbingan akademik, dan kadang, perkuliahan pun jadi sekadar formalitas.
Baca juga:
Ozkan, sahabat dari Istanbul
|
Padahal, dosen-dosen ini menerima gaji dari anggaran negara yang, dalam arti yang sesungguhnya, berasal dari kantong rakyat. Sebagai ASN, para dosen sudah mendapatkan amanah untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab akademik sepenuhnya. Namun, ketika mereka lebih sering “berbisnis” di luar, ini bukan hanya soal etika yang dipertanyakan, tapi juga menyentuh ranah yang lebih serius, perilaku koruptif. Mengapa? Karena mereka menerima bayaran sebagai pelayan publik, namun justru menggunakan waktu yang dibayar oleh rakyat untuk kepentingan pribadi. Dalam perspektif etika dan akuntabilitas, perilaku ini seharusnya sudah diidentifikasi sebagai pelanggaran integritas.
Mungkin sudah saatnya diberlakukan aturan tegas untuk memilih jalan, tetap menjadi ASN dengan seluruh dedikasi yang dibutuhkan atau menjadi profesional murni di luar ikatan ASN. Negara-negara maju telah lama menerapkan sistem di mana dosen yang terlibat proyek profesional harus melalui izin resmi dan terstruktur, tanpa mengorbankan waktu akademik. Langkah ini menghindarkan dosen dari konflik kepentingan, sekaligus memastikan peran utama mereka sebagai pendidik tetap terjaga.
Lebih dari itu, kampus negeri juga perlu melakukan pengawasan ketat terhadap waktu dan komitmen dosen-dosennya. Jika memang terbukti melanggar, sanksi tegas harus diterapkan agar mereka kembali fokus pada fungsi mereka sebagai abdi negara yang seharusnya mendahulukan kepentingan mahasiswa.
Pada akhirnya, kualitas pendidikan tinggi negeri bukan sekadar soal kurikulum dan sarana, tapi juga soal integritas para pendidik. Mari berharap agar para dosen yang telah disumpah menjadi abdi negara ini bisa lebih bijaksana dalam memilih, untuk siapa mereka sebenarnya bekerja, mahasiswa yang haus ilmu, atau proyek di luar kampus yang menggiurkan?
Hidayat Kampai
Katua Yayasan Pendidikan Auditor Indonesia